portalutama.com – Saat berhubungan dengan jasa keuangan, masyarakat memang memiliki hak dan kewajiban yang harus dicermati. Apalagi, itu menyangkut penyimpanan dana sehingga membutuhkan asas kepercayaan demi keamanan dan kenyamanan.
Urgensi Memahami Aturan Perbankan dengan Cermat, Lengkap dengan Hak dan Kewajibannya
Menurut Firman Turmantara Endipradja, Wakil Ketua Komisi Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI, ada hubungan hukum yang mengikat konsumen dan bank . Hubungan hukum itu diikat oleh perjanjian kedua pihak dan dilindungi oleh setiap UU dan peraturan dari lembaga negara.
Peraturan dan perundangan itu mencakup UU KUHP, KUHAP, UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Peraturan OJK Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan. Bahkan, untuk bank pemerintahan, hukum yang mengikat juga mengacu pada UU Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
” OJK sudah turunkan produk hukum tentang perlindungan konsumen . Kalau ada kejadian dengan bank pemerintah, hukumnya berlapis karena ada UU pelayanan publik, UU ASN. Minimal ada lima peraturan perundangan,” ujar Firman.
Baca Juga: Rekening BCA Dibobol Tukang Becak, Nasabah Diingatkan Jaga Data Perbankan
Ada beberapa aturan yang mengatur beberapa hal yang seringkali merugikan nasabah. Karena ketidaktahuan, nasabah sering menjadi korban dari tindak pidana yang berkaitan dengan perbankan . Oleh karena itu, penting bagi nasabah untuk memahami beberapa aturannya.
UU Perlindungan Konsumen
UU Nomor 8 tahun 1999 mengatur mulai dari bagaimana isi dari perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen . Klausul dalam perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan dan perundangan, serta bentuknya bahkan diwajibkan jelas dan mudah dimengerti.
Pasal 18 ayat (2) menyatakan, “Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.”
Baca Juga: Soal OJK Penyidik Tunggal Pidana Keuangan, ICW: Picu Konflik Kepentingan
Kemudian, Pasal 19 ayat (1) menyebutkan, “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Ayat (2) menyatakan, “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Ayat (3) mengatur pemberian ganti rugi. “Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.”
Ayat (4) dan (5) mengatur proses hukum yang mungkin menyertai kerugian itu. Ayat (4) menyatakan, “Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.”
Baca Juga: Memelas Usai Bobol Rekening BCA Rp320 Juta, Tukang Becak di Surabaya Angkat Bicara
Sementara ayat (5) menyebutkan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen .”
Berkaitan dengan proses hukum, Pasal 22 dan Pasal 28 UU ini mengatur bahwa proses pidananya mengusu asas pembuktian terbalik. Pelaku usaha adalah pihak yang bertanggung jawab membuktikan kalau dia tidak bersalah atas tuntutan konsumen . Pasal 28 itu menyatakan, “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.”
Peraturan OJK
Peraturan OJK Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan juga mengatur lebih detail lagi tentang hak dan kewajiban pelaku usaha jasa keuangan. Aturan-aturan dalam POJK pun seakan menjawab kegelisahan konsumen dari pengalamn pribadi yang bersinggungan dengan bank .
Mengenai data pribadi, konsumen atau nasabah harus berhati-hati saat melakukan perjanjian. Bank dilarang menyebarkan data pribadi nasabah, kecuali nasabah mengizinkannya.Pada Pasal 11 ayat (1) dinyatakan bahwa, “PUJK dilarang: a. memberikan data dan/atau informasi pribadi mengenai Konsumen kepada pihak lain; b. mengharuskan Konsumen setuju untuk membagikan data dan/atau informasi pribadi sebagai syarat penggunaan produk dan/atau layanan.”
Ayat (2) menyebutkan data dan informasi yang dimaksud yaitu, nama, Nomor Induk Kependudukan, alamat, tanggal lahir dan/atau umur, nomor telepon, nama ibu kandung, dan/atau data lain yang diserahkan atau diberikan akses oleh Konsumen kepada PUJK.
Namun, ayat (3) memberikan pengecualian. Ayat itu menyatakan, “Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam kondisi: a. Konsumen memberikan persetujuan; dan/atau b. diwajibkan atau ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Untuk menjamin data nasabah aman, perbankan bahkan diwajibkan untuk menggunakan teknologi informasi yang andal dan terus diperbarui. Ayat (5) menyebutkan “Dalam hal PUJK menggunakan teknologi informasi untuk mengelola data dan/atau informasi pribadi Konsumen, PUJK wajib menggunakan teknologi informasi yang andal serta menjamin keamanan data dan/atau informasi pribadi Konsumen dengan melakukan pengecekan kelayakan dan/atau keamanan secara berkala.”
Bagi masyarakat yang tidak nyaman sering ditelepon oleh marketing bank melalui telepon pun, hal itu memiliki aturannya. Staf marketing bank memang sering kali mengontak nasabah untuk menawarkan produk-produk baru seperti kartu kredit, pinjaman, dan lainnya.
Pasal 25 dari POJK sudah mengatur itu. Ayat (1) menyebutkan, “PUJK dilarang melakukan penawaran produk dan/atau layanan kepada calon Konsumen melalui sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan calon Konsumen.”
Andaikan konsumen sudah terlanjur setuju, persetujuan itupun bisa ditarik. Namun, bila konsumen terus menyetujuinya, ada kewajiban juga yang harus dilakukan bank .
Ayat (4) menyatakan, “PUJK yang melakukan penawaran produk dan/atau layanan melalui sarana komunikasi pribadi setelah mendapatkan persetujuan calon Konsumen atau Konsumen wajib memenuhi: a. komunikasi hanya dapat dilakukan pada hari Senin sampai dengan Sabtu di luar hari libur nasional dari pukul 08.00 – 18.00 waktu setempat, kecuali atas persetujuan atau permintaan calon Konsumen atau Konsumen.”
Poin c bahkan mengatur bahwa pihak bank harus juga menginformasikan sumber data dan/atau informasi pribadi calon Konsumen yang diperoleh PUJK. Apalagi kalau bank mendapatkan data dan/atau informasi pribadi calon Konsumen dari pihak lain untuk mengajukan penawaran produknya.
Aturan lain yang juga harus dicermati adalah bahwa pihak bank harus memastikan konsumen memahami perjanjian sebelum menandantanganinya. Pasal 29 ayat (10) menyatakan, “PUJK wajib melakukan konfirmasi pemahaman calon Konsumen atas klausula perjanjian sebelum calon Konsumen menandatangani perjanjian.”
Kemudian, ayat (2) menyebutkan, “PUJK memberikan waktu yang cukup kepada calon Konsumen untuk memahami klausula perjanjian yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”
Ke mana mengadu?
Menurut Firman, UU Perlindungan Konsumen juga sudah mengatur bagaimana prosedur pengaduan konsumen , bila bank tempat dia menyimpan dana telah merugikannya. Ada tiga lembaga yang bisa dimanfaatkan masyarakat, yaitu BPKN RI, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
“BPKN menerima pengaduan baik dari konsumen maupun pelaku usaha, dan LPKSM. Tetapi, penerimaan pengaduan bukan untuk diselesaikan, yang menyelesaikan nanti di BPSK. BPKN menampung pengaduan untuk dianalisis dan diberikan rekomendasi ke pemerintah, yaitu kementerian terkait,” ujarnya.
LPKSM, kata Firman, adalah lembaga sejenis Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang jumlahnya ada sekitar 400 lembaga tersebar di seluruh Indonesia. Sementara, BPSK ada di tingkat kabupaten/kota yang akan menyelesaikan sengketa berupa tuntutan ganti rugi.
“Kalau ada unsur pidana, misalnya penipuan, maka bisa diproses hukum pidana biasa, berupa laporan ke polisi,” ucapnya. Berdasarkan aturan, sengketa konsumen bisa berujung pada sanksi pidana, perdata, serta administratif berupa pencabutan izin usaha.***